Kenneth Grahame: Angin di Daun Dedalu
“Tunggu sampai kau belajar beberapa hal.”
Tanpa ba-bi-bu, Tikus Tanah melompat dan merebut dayung. Tikus Air terkejut dan langsung terjengkang dari tempat duduknya.
“Stop, dasar makhluk sinting!” pekik Tikus Air. “Kita bisa tercebur!”
Tikus Tanah mengayunkan kembali dayungnya—dan lupa memperhatikan arus air. Ia terpental dan menimpa Tikus Air yang terjungkal. Kemudian perahu terbalik!
Oh, alangkah dinginnya air itu bagi Tikus Tanah! Oh, sungguh teramat basah rasanya! Telinganya berdenging saat ia tenggelam makin dalam. Kemudian, sebuah tangan yang kokoh mencengkeram bagian belakang lehernya. Tikus Air menarik hewan yang tak berdaya itu ke darat, menyeretnya, dan membaringkannya di tepi sungai. Benar-benar satwa bertubuh gemuk yang malang. Sekarang ia basah kuyup.
Tikus Air menggosok badan Tikus Tanah, lalu tertawa. Katanya, “Nah, begini saja, Sobat! Berlarilah bolak-balik di sini secepat mungkin sampai tubuhmu hangat dan kering. Aku akan mengambil keranjang di dasar sungai.”
Ketika Tikus Air membawa naik barang-barangnya, Tikus Tanah duduk di bagian belakang perahu. “Ratty, maafkan aku. Apakah kau tetap mau berteman denganku?”
“Apa artinya sedikit basah untuk seekor tikus air?” balas Ratty. “Kurasa kau akan senang tinggal bersamaku untuk sementara. Tidak ada apa-apa di rumahku, tapi kau akan kuajari mendayung dan berenang. Sebentar saja kau akan sama cekatannya dengan penduduk Tepi Sungai.”
Tikus Tanah menyetujuinya dengan sopan.
Begitu tiba di rumah Tikus Air, sang tuan rumah terus bercerita tentang kisah-kisah seputar sungai kepada Tikus Tanah hingga waktu makan malam tiba. Begitu selesai makan, Tikus Tanah yang amat kelelahan harus setengah digendong naik ke kamar tidur tamu dan langsung
terlelap.
Hari ini hanyalah salah satu dari masa-masa menyenangkan bagi Tikus Tanah. Ketika musim semi dan musim panas berganti, ia belajar berenang dan mendayung. Dengan menempelkan telinga pada buluh-buluh air, sering kali ia dapat mendengar apa yang dibisikkan angin.
Halaman: iv + 192