Arthur Conan Doyle: Investigasi Sherlock Holmes
“Cuma tiga setengah kilo,” jawabku.
“Ah, seharusnya aku lebih teliti. Cuma selisih sedikit, kan? Dan sekarang buka praktek lagi, ya. Kenapa tak bilang-bilang?”
“Lho, bagaimana kau tahu?”
“Kelihatan, dan bisa disimpulkan. Aku juga tahu bahwa kau sering kehujanan akhir-akhir ini, dan bahwa pelayan wanitamu agak teledor?”
“Sobatku Holmes,” kataku, “kau keterlaluan. Kalau saja kau hidup beberapa abad lalu, orang pasti akan membakarmu. Memang benar aku ke luar rumah hari Kamis yang lalu dan pulang dalam keadaan tak keruan, tapi sekarang aku kan sudah ganti pakaian tak bisa kubayangkan bagaimana caranya kau mengambil
kesimpulan.
Dan pelayanku, Mary Jane, memang payah sekali, dan sudah ditegur oleh istriku, tapi lagi-lagi aku tak mengerti bagaimana kau bisa menyimpulkan hal itu.”
Dia tergelak dan mengusap-usapkan kedua tangannya yang panjang dan tak bisa diam itu.
“Gampang,” katanya. “Mataku melihat bahwa di bagian dalam sepatumu yang sebelah kiri yang disinari cahaya lampu itu, ada enam goresan sejajar. Pasti disebabkan oleh keteledoran orang yang berusaha membersihkan lumpur kering dari sol sepatu itu. Kau tahu sekarang, itulah makanya aku bisa mengambil kesimpulan bahwa kau pernah keluyuran dalam cuaca yang buruk, dan bahwa kau mempekerjakan pembantu yang teledor. Mengenai praktekmu, aku tahu dari bau yodoform-mu, bercak hitam bekas nitrat di telunjuk kananmu, dan tonjolan di bagian atas topimu yang kaupakai untuk menyimpan stetoskop. Alangkah bodohnya aku, kalau sampai tak tahu bahwa kau masih aktif di profesimu sebagai dokter.”
Aku tak dapat menahan rasa geli mendengar penjelasannya tentang bagaimana caranya dia menarik kesimpulan. “Kalau aku mendengar bagaimana kau mengemukakan alasan,” komentarku, “nampaknya kok begitu gampang, ya, sehingga rasanya aku pun mampu melakukannya. Tapi kenyataannya aku selalu terheran heran sampai akhimya kau harus menjelaskannya. Tapi, aku yakin, mataku sama baiknya dengan matamu.”
“Betul,” jawabnya sambil menyulut rokok, lalu menjatuhkan dirinya di kursi. “Kau melihat, tapi tak mengamati. Bedanya jauh sekali. Misalnya, kau sudah sering melihat tangga yang menuju kamar ini.”
“Memang.”
“Berapa kali?”
“Yah, beratus-ratus kali.”
“Lalu, berapakah jumlah anak tangganya?”
“Berapa? Mana aku tahu!”
“Begitulah. Kau tak mengamati, walaupun kau melihat. Itulah yang kumaksudkan. Aku tahu ada tujuh belas anak tangga, karena sambil melihat aku mengamati.
Halaman: iv + 96