Sherlock Holmes: Investigasi Benang Merah
“Aku mau ketemu dia,” kataku. “Kalau harus berbagi rumah dengan orang lain, aku lebih suka orang yang senang belajar dan punya hobi yang tenang. Aku belum sanggup menghadapi ribut-ribut atau suara keras. Selama di Afghanistan kedua hal itu sudah terlalu menyiksaku, sehingga rasanya aku tak ingin mengalaminya lagi sepanjang sisa hidupku. Bagaimana aku bisa bertemu dengan temanmu itu?”
“Dia pasti di laboratorium,” jawab Stamford cepat. “Orang itu memang aneh. Kadang dia menghilang dari laboratorium selama berminggu-minggu, tapi di saat lain ia bisa tidak beranjak di sana dari pagi sampai malam. Kalau kau mau, kita bisa ke sana bersama-sama sesudah makan siang.”
“Oke, terima kasih,” jawabku, dan topik percakapan kami pun berganti.
Dalam perjalanan menuju rumah sakit setelah meninggalkan Holborn, Stamford kembali menyinggung masalah Sherlock Holmes.
“Kalau kami ternyata tidak cocok, kami bisa saja berpisah,” jawabku. “Sebenarnya ada apa dengannya?” tanyaku sambil menatap Stamford tajam. “Sikap orang ini begitu buruk, atau ada masalah lain? Ceritakan terus terang, tidak perlu kau sembunyikan!”
“Sulit untuk mengungkapkan apa yang tidak bisa diungkapkan,” jawab Stamford sambil terkekeh. “Begini, bagiku Holmes itu terlalu ilmiah dan seperti tidak punya perasaan. Bisa kubayangkan dia memberikan alkaloid tumbuhan terbaru kepada teman sekamarnya, bukan karena niat jahat, tapi sekadar karena ingin tahu cara kerjanya. Supaya adil, aku harus mengatakan bahwa Sherlock Holmes pun akan mengkonsumsi zat itu dengan kesiapan yang sama. Dia tampaknya begitu terobsesi untuk memperoleh pengetahuan yang jelas dan eksak.”
“Memang seharusnya begitu.”
“Ya, tapi mungkin Sherlock sudah terlalu keterlaluan. Bayangkan saja, dia pernah memukuli mayat-mayat di kamar bedah dengan tongkat!”
Halaman: iv + 96